Kata Mandar sudah pasti tidak asing di telinga kalian, terkhusus yang tinggal di wilayah Sul-Bar atau yang berkampung halaman di salah satu daerah provinsi tersebut. Sebenarnya apa sih arti kata "Mandar" itu? baca penjelasan berikut ini.
____________________________________________________________________________________
"Mandar" terdengar di telinga kita sudah pasti merujuk ke etnis yang mendiami wilayah Sulawesi Barat.
________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
"Mandar" terdengar di telinga kita sudah pasti merujuk ke etnis yang mendiami wilayah Sulawesi Barat.
Kata "Mandar" memiliki ragam makna apabila ditinjau dari berbagai aspek. Mandar ketika dilihat dari sudut pandang Antropologi bermakna sebagai sebuah suku (etnis) bangsa dalam kergaman etnis yang terdapat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedang dari sudut pandang geografis, makna mandar adalah sebuah wilayah mulai dari Paku (Kabupaten Polewali Mandar) sampai ke Suremana (Kabupaten Pasangkayu) sejak dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2004 silam.
Mandar secara wilayah, sudah tergabung dalam provinsi tersendiri, yaitu Sulawesi Barat yang terdiri dari enam kabupaten yaitu; Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Majene, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamuju Tengah, Kabupaten Pasangkayu.
____________________________________________________________________________________
Selain memiliki makna ssebagai sebuah suku dan wilayah, kata 'Mandar' dalam kehidupan masyarakat memiliki ragam pemaknaan yang berbeda-beda, bahkan ada yang lahir dari luar budaya Mandar sendiri. Beberapa definisi Mandar dari berbaagai pendapat dan sudut pandang sejarawan dan budayawan Mandar :
1. SipaMandar
SipaMandar (saling menguatkan) yang tertuang dalam perjanjian Allamungan Batu di Luyo. Kata ini muncul dalam konteks kebudayaan Mandar pada saat terjadinya perjanjian di Luyo yang ditandai dengan adanya prasasti Allamungan batu di Luyo. Ketika ditinjau dari segi poilitis kata SipaMandar yang menjadi asal muasal kata Mandar memiliki relevansi politik yang cukup kuat. SipaMandar merupakan ikrar simbolik yang mengakhiri seuluruh konflik persekutuan kerajaan yang ada di tanah Mandar. Allamungan Batu di Luyo yang diprakarsai oleh persekutuan kerajaan pesisir yang terwakilkan kedalam Pitu Babana Binanga (Tujuh Kerajaan di Muara Sungai) dan persekutuan kerajaan yang ada di pegunungaan yang terwakilkan dalam Pitu Ulunna Salu (Tujuh Kerajaan di Hulu Sungai) terlaksana antara abad XVII-IX M. Memiliki rentang waktu yang cukup jauh dengan penulisan Lontara I La Galigo yang ditulis kisarn abad ke VI M. Dimana dalam lontara I La Galigo, kata Manre' (penyebutan orang Bugis untuk Mandar) sudah tertulis. Sehigga relevansi kata Sipamandar menjadi Mandar dianggap tidak mungkin bagi beberapa kalangan budayawan dan sejarawan Mandar, antara lain Abdul Muis Mandra dan H. Mohtar Husain (Idham, 2010)
Situs Allamungan Batu di Luyo
2. Maqdara
"Maqdara" dalam bahasa Indonesia adalah berdarah. Asumsi ini kemungkinan merujuk pada sifat sebagian orang Mandar yang keras dan suka berkelahi, hingga saling menumpahkan darah. Kalangan budayawan Mandar menganggap pandanga ini lemah, karena secara rasional sangat tidak mungkin ketika orang Mandar memberikan stigma negatif kepada dirinya sendiri. Versi ini kemungkinan besar lahir dari orang luar Mandar.
"Maqdara" dalam bahasa Indonesia adalah berdarah. Asumsi ini kemungkinan merujuk pada sifat sebagian orang Mandar yang keras dan suka berkelahi, hingga saling menumpahkan darah. Kalangan budayawan Mandar menganggap pandanga ini lemah, karena secara rasional sangat tidak mungkin ketika orang Mandar memberikan stigma negatif kepada dirinya sendiri. Versi ini kemungkinan besar lahir dari orang luar Mandar.
3. Mandarraq
Dahulu kala, di sebuah gunung Pabulahan senantiasa memancarkan cahaya kemilau seperti emas. Gunung ini terdapat di Ulumandaq daerah kerajaan Sendana. Pancaran dari gunung inilah yang disebut "mandarraq".
Pada pertemuan di Tammajarra kerajaan Balanipa. Kerajaan Sendana sebagai salah satu peserta konferensi yang diwakilkan oleh Puatta I Kuqbur membawa batuan sebanyak enam karung yang diambil dari gunung Pabulahan. Ia ingin memperlihatkan kepada kerajaan lain bahwa inilah kekayaan kerajaan Sendana. Dalam pertemuan ini terjadi perdebatan dalam hal menentukan nama yang hendak digunakan sebagai simbol pemersatu dalam konfederasi. Lalu, perwakilan kerajaan Sendana mengusulkan untuk memakai istilah "Mandarraq" (yang kemudian berubah menjadi Mandar). Hal ini juga yang mendasari kerajaan Sendana menjadi Indo (ibu) dalam persekutuan Pitu Babana Binanga. Cerita rakyat Sendana inilah yang diyakini kebenarannya oleh A. Syaiful Sinrang sebagai dasar penamaan Mandar.
Namun, Asumsi ini diragukan oleh Abd. Muis Mandra. Beliau menggunakan teori perspektif dalam pengguguran huruf dalam kebiasaan bahasa Mandar.Pengguguran huruf sebanyak tiga huruf (r-a-q) tidak pernah terjadi dalam sistem bahasa Mandar. Selain itu kata "Mandarraq" tidak lazim digunakan adalah "Pandarraq" berarti akan lebih banyak lagi huruf yang digugurkan (Abd. Muis Mandra, 1986)
4. Nadara
Adapula pendapat yang mengatakan bahwa kata Mandar berasal dai kata "Nadara" yang berarti jarang. Mandar merupakan kata tempat (ismu makaan) dari kata Nadara yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Perndapat ini dikemukakan oleh H.S Hasan Alwy dalam ceramah agama di Pare-Pare tahun 1961 (H. Mohtar Husain, t:th 115).
Versi ini oleh Mohtar Husain dianggap sangat lemah dan tidak memiliki dasar histris. Eksistensi kata Mandar telah ada sejak abad VI-IX M (sesuai yang tertulis dengan Lontara I La Galigo). Sementara itu, Islam masuk di tanah Mandar diperkirakan pada abad XVII M. Dengan rentang waktu yang demikian panjang dapat diduga bahwa pengaruh Islam atau pengaruh Bahasa Arab terhadap kata Mandar tidak mungkin terjadi.
5. Dhara-Man
Menurut H. Sahabuddin Mahmud, Mandar berasal dari bahasa Sansekerta dari kata "Dhara-Man".Terdiri dua akar kata "Dhar" & "Man" yang memiliki arti penduduk. Kata Dhara-Man mengalami proses perubahan bentuk berganti suku kata vokal "a" dan vonem "h" hilang, kemudian berubah menjadi Mandar.
Versi ini sangat sulit dibuktikan validitasnya karena; pertama, sejauh ini tidak ada catatan yang kuat menunjukkan adanya pengaruh Hindu di tanah Mandar. Kedua,, Kalaupun pengaruh Hindu benar-benar pernah ada di tanah Mandar. Jejak bahasa sansekerta pasti mempengaruhi penamaan kerajaan-kerajaan dan mempengaruhi nama para bangsawan Manda, bukan hanya berpengaruh pada lahirnya kata "Mandar".
6. Mandar (sungai)
Di Tinambung dan sekitarnya (wilayah Polewali Mandar) yang dahulunya wilayah kerajaan Balanipa, sampai saat ini menggunakan kata Mandar yang merujuk kepada sungai (Sungai Mandar di Tinambung) laut yang menjorok kemuara sungai Tinambung disebut Teluk Mandar, sedangkan hulunya disebut Ulumandaq. Inilah alasan utama bagi orang-orang yang berpendapat bahwa kata "Mandar" merujuk kepada sungai.
Secara faktual, pendapat tersebut tidak terlalu kuat. Karena banyak kerajaan di masa lalu yang memiliki sungai. Namun dari semua sungai yang ada hanya sungai di kerajaan Balanipa yang disebut "Mandar". Sungai Maloso, Sungai Tubo, Sungai Karamaq dan Sungai Lariang yang sama bahkan jauh lebih besar tidak dikatakan Mandar (Abd. Muis Manra, 1986)
Menurut R.A Palengkehu (1987) asosiasi kata Mandar dengan sungai buakn khas domestik sulawesi. Kata populer untuk sungai adalah salu, salo, jeqne, jenne,binanga, minanga, nimanga, dan rano. Mandar dalam arti sungai justru merujuk kepada rumpun bahasa Melayu-Minangkabau, yaitu "Bandar' yang berarti sungai atau dekat dengan bahasa Parsi, yaitu "Bandar" yang berarti kota pelabuhan.
7. Maandar
"Mandar" atau "Meandar" berarti mengantar atau mengiringi. Dianggap sebagai akar kata Mandar yang paling relevan diantara sekian banyak versi.
Kisah ini bermula dari seorang putri bangsawan dari kerajaan Balanipa menderita penyakit lepra, karena penyakitnya ditakutkan menular Sang Putri kemudian diasingkan ke suatu tempat ke sekitar hulu sungai Balanipa. Dalam pengasingannya itu, ia melahirkan seorang bayi yang tidak diketahui asal usul ayahnya (anak jadah). Permasalahan tersebut kemudian dibawa kedalam sidang adat, yang mengeluarkan keputusan bahwa Sang Anak diserahkan kepada Dewata melalui upacara tradisional dihanyutkan di sungai Balanipa. Dalam upacara ini, segenap warga berbaris pada kedua sisi sungai.
Dalam proses penghanyutan si Anak Jadah inilah yang menghasilkan beberapa nama kampung di Balanipa. Di Muara sungai disebut kampung Tambung (bertumpuk) dan kampung Paqgiling (menoleh atau berbalik). Sedangkan di sisi sungai yang lain, kampung Paraq berarti bakal mati secara perlahan-lahan seperti pohon (dikeluarkan kulitnya), dan kampung Kekkes yang bisa diartikan maju pelan-pelan, yang berarti para pemgantar pulang secara perlahan.
(Abd Muis Mandra, 1986), transformasi dari kata "Maandar" ke kata "Mandar" paling kuat diantara pendapat lainnya. Data pendukung cerita inisangat kuat, seperti kampung Tambung, Panggiling, Paraq, Kekkes, dan cerita ini juga ditemukan di Sendana, Lembang Mapi dan tempat lainnya.
Selain itu, cerita ini juga tidak bertentangan dengan catatan dan dalam Lonatara I La Galigo, karena cerita ini konon terjadi pada zaman pra-sejarah.
____________________________________________________________________________________
Jadi, bagaimana menurut kalian para pembaca yang budiman? cukup menarik juga yah asal usul kata Mandar ini. Persoalan perspektif mana yang paling tepat itu berpulang kepada pemikiran anda sendiri yang memiliki pemahaman dan kisah mitologi yang ada pada lingkungan 'keluarga' kalian masing-masing...
Demikian untuk blog ini, semoga bermanfaat bagi para pembaca yang budiman.
Sampai jumpa diblog selanjutnya...
____________________________________________________________________________________
Mamuju, 10 Mei 2020
Mamuju, 10 Mei 2020
No comments:
Post a Comment