Wednesday, May 13, 2020

Pembentukan Persekutuan Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Mandar : Pitu Babana Binanga

Dikisahkan...
Seseorang yang bernama Pa'doran yang bermukim di Ulu Sa'dan yang juga disebut Tobabina. Pa'doran merupakan anak dari Pongkapadang yang mana menjadi cikal bakal orang-orang Pitu Ulunna Sallu dan Pitu Babana Binanga. 

Dalam Tradisi Lisan Tana Toraja, disebut Pongkapadang memiliki Tongkonan Layuk di Tabulahan; Pitu Ulunna Sallu.
___________________________________________________________________________________


Dalam Lontara' Mandar (Lontara berbahasa Mandar) yang umumnya berisi sebuah Pappasang (amanat), juga berisi tengtang asal-usul kesatuan Lita' atau Tana Mandar. Dijelaskan bahwa Pitu Ulunna Sallu dan Pitu Babana Binanga, adalah kesatuan wilayah Mandar. 

Orang- orang dari wilayah permukiman itu, merasa bersaudara semuanya. Orang Mandar percaya bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang (leluhur) yaitu; Tokombong di Bura' (laki-laki) & Towisse di Tallang (perempuan). Dari pernikahan keduanya inilah lahir cikal bakal para bangsawan di wilayah Mandar.

___________________________________________________________________________________

Di kawasan Pitu Babana Binanga, para Tomakaka mengangkat banyak pejabat pembantu untuk berbagai urusan berbagai urusan kesejahteraan rakyat semakin meningkat tuntutannya. Para pejabat pembantu itu seperti Pabbicara, Tomabubeng, dan sebagainya secara langsung mengurus kepentimgan rakyat, walaupun hal itu dilakukan atas nama Tomakaka. Tetapi lambat laun tokoh Tomakaka yang semakin mengurangi penampilannya di mata rakyat, kehilangan simpati rakyatnya.

Itulah sebabnya konsepsi kepemimpinan Mara'dia yang dibawa oleh I Mannyambungi Todilaling sebagai Mara'dia Balanipa pertama, mendapat sambutan, seolah-olah mengembalikan esensi kepemimpinan dan kewibawaan Tomakaka.

___________________________________________________________________________________

Well itu adalah pengantar dari saya, agar para pembaca yang budiman tidak bingung dalam membaca isi dari blog ini, stay tune yah!
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 

Pembentukan Persekutuan Kerajaan-Kerajaan

I Manyambungi yang mengawali pembentukan pemerintahan Kerajaan Balanipa nampaknya belum melangkah jauh untuk mempersatukan kerajaan-kerjaan yang kemudian terbentuk di Sulawesi Barat. Namun, gagasan itu baru terwujud ketika puteranya yang bernama Tomepayung, dinobatkan untuk menggantikannya. 

Setelah Tomepayung, secara resmi memangku jabatan menjadi mara'dia Balanipa yang kedua, ia mulai melanjutkan kebijakan pendahulunya, dengan menata struktur pemerintahannya, dan bergiat menjalin hubungan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan di sekitarnya.

Dalam hubungan yang disebutkan terakhir itu, ia memprakarsai pertemuan natara kerajaan-kerajaan di daerah pesisir pantai (Babana Binanga), seperti Kerajaan Sendana, Banggae, Pamboang Tappalang, dan Mamuju. Pertemuan yang diselenggarakan di Tammajarra (Balanipa) sehingga disebut Pertemuan Tammajarra yang nantinya menghasilkan Perjanjian Tammajarra I & II.

Hasil dari musyawarah itu dicapai kesepakatan membentuk persekutuan antara kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah pesisir yang kemudian melahirkan ikrar kesepakatan yang dikenal dengan Asitalliang Tammajarra. Meskipun 

Meskipun yang hadir dalam pertemuan itu, hanya enam kerajaan; Balanipa, Sendana, Majene, Pamboang, Tappalang, dan Mamuju. Tetapi mereka sepakat menyebut persekutuan yang dibentuk itu dengan nama Pitu Babanana Binanga, mungkin dengan pertimbangan bahwa Kerajaan Binuang pasti bersedia bergabung, meskipun rajanya tidak hadir dalam pertemuan itu, sehingga menjadi persekutuan tujuh kerajaan.

Mereka yang bermusyawarah adalah :
1. Tomepayung (Mara'dia Balanipa)
2. Puatta I Kubur (Mara'dia Sendana)
3. Daeng Melatto (Mara'dia Banggae)
4. Tomelakeke Bulawang (Mara'dia Pamboang)
5. Puatta I Karaname (Mara'dia Tappalang)
6. Tomejammeng (Maradika Mamuju)

  *Saharuddin, 1985. Mengenal Pitu Babana Binanga (Mandar) dalam Lintsan Sejarah Pemerintahan Daerah Sulawesi Selatan (UjungPandang: C.V. Mallomo Karya), hal. 38-39.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 
Ketika mereka telah berkumpul berkatalah Mara'dia Tomepayung;
"Berkumpul lah orang di Tammajarra. Hadirlah Sendana, begitu juga yang lainnya. Adapun sebabnya kalian kupanggil, kerabatku, sebaiknya bersekutu kita bertujuh, karena bersaudara kita semua, dari satu asal, satu nenek kita bersama, kita semua adalah cucu Tokombong di Bura'. Siapa yang empunnya cucu Maradika Mamuju, dan juga Mara'dia Tappalang, (jika bukan) Taandiri. .Siapa yang empunya cucu Mara'dia Sendana begitu pula Mara'dia Pamboang, (jika bukan) Daeng Palulung, Tokombong di Bura' juga asalnya. Mara'dia Banggae dan Mara'dia Binuang, Pongkapadang yang memperanakkannya, Tokombong di Bura' juga asal muasalnya"

Itulah sebabnya Mara'dia Balanipa berkata; "Kita semua bersaudara, karena kita semua berasal dari satu nenek." Bagaimana pendapat kalian wahai saudara-saudaraku? kemudian berkatalah yang lima kepada Sendana; "Engkaulah yang besar, Sendana". Berkatalah Sendana; "Sekali engkau katakan, sepuluh kali saya bergembira. Kecuali satu hal, saya yang besar tetapi engkaulah sambolangi" (penutup langit, sejenis burung). Engkaulah (sebagai) suami, sayalah (sebagai) istri, dan sebagai anaklah Banggae, Pamboang Tappalamg, Mamuju, dan Binuang, sebab dikhawatirkan bangkitnya kembali kekuatan Passokkorang". Berkata lagi Sendana; "Mati di pagi hari Balanipa, mati di sore hari Sendana bersama anaknya. Demikian juga, Sendana sehidup semati dengan Pitu Babana Binanga."

Begitulah kesepakatannya...
Sendana (dengan) Balanipa, kemudian masing-masing memegang Kalupping(semacam daun sirih yang dilipat khusus) dan telur, lalu dipecahkan bersama-sama, dipersaksikan kepada dewata di atas dan di bawah. Barangsiapa yang mengigkari perjanjian, dibalikkan hubungannya, dibalikkan tiang (rumahnya).

Dikatakan pula oleh Tomepayung; " Ini juga kupanggilkan kepadamu (hai) istriku, apa yang hidup ketika perangkapmu terpasang, jika masuk semua segenap janganjangan menri'ba'nya (burung merpati  terbangnya, musuh yang melarikan diri ke daerah lain) Balanipa ke dalam negerimu, itu sudah menjadi milimu, (wahai) istriku, ambillah olehmu."
Itulah pemberian Balanipa (kepada istrinya), maka istrilah Sendana, anaklah Lima Babana Binanga, bersama (dalam) keburukan, bersama (dalam) kebaikan, sehidup semati. Menjamulah Balanipa kepada istri dan anak-anaknya, masing-masing  memperoleh kerbau seekor, dan beras sepuluh balasse (wadah beras terbuat dari daun nipa).
___________________________________________________________________________________

Ucapan Mara'dia Balanipa itu menunjukkan bahwa sesungguhnya mereka berasal dari satu leluhur. Karena itu sepatutnyalah membangun persatuan dan tidak saling membinasakan, bahkan mengajak membangun persekutuan itu menjadi bentuk keluarga.
___________________________________________________________________________________

Jadi bagaimana nih menurut kalian tentang Pembentukan Persekutuan Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Mandar dalam hal ini, mencakup wilayah Pitu Ba'bana Binanga? cukup berjalan dengan damai yah musyawarah kerajaan-kerajaan tersebut.

Lalu, bagaimana nih dengan Pitu Ulunna Sallu? nantikan di blog selanjutnya yah...

Jangan lupa share para pembaca yang budiman.
___________________________________________________________________________________

Mamuju, 13 Mei 2020






Sunday, May 10, 2020

Berbagai Perspektif Tentang Istilah 'Mandar'

Kata Mandar sudah pasti tidak asing di telinga kalian, terkhusus yang tinggal di wilayah Sul-Bar atau yang berkampung halaman di salah satu daerah provinsi tersebut. Sebenarnya apa sih arti kata "Mandar" itu? baca penjelasan berikut ini.
____________________________________________________________________________________

"Mandar" terdengar di telinga kita sudah pasti merujuk ke etnis yang mendiami wilayah Sulawesi Barat. 
____________________________________________________________________________________

Kata "Mandar"  memiliki ragam makna apabila ditinjau dari berbagai aspek. Mandar ketika dilihat dari sudut pandang Antropologi bermakna sebagai sebuah suku (etnis) bangsa dalam kergaman etnis yang terdapat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedang dari sudut pandang geografis, makna mandar adalah sebuah wilayah mulai dari Paku (Kabupaten Polewali Mandar) sampai ke Suremana (Kabupaten Pasangkayu) sejak dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2004 silam.



Mandar secara wilayah, sudah tergabung dalam provinsi tersendiri, yaitu Sulawesi Barat yang terdiri dari enam kabupaten yaitu; Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Majene, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamuju Tengah, Kabupaten Pasangkayu.

____________________________________________________________________________________

Selain memiliki makna ssebagai sebuah suku dan wilayah, kata 'Mandar' dalam kehidupan masyarakat memiliki ragam pemaknaan yang berbeda-beda, bahkan ada yang lahir dari luar budaya Mandar sendiri. Beberapa definisi Mandar dari berbaagai pendapat dan sudut pandang sejarawan dan budayawan Mandar :

1. SipaMandar
SipaMandar (saling menguatkan) yang tertuang dalam perjanjian  Allamungan Batu di Luyo.  Kata ini muncul dalam konteks kebudayaan Mandar pada saat terjadinya perjanjian di Luyo yang ditandai dengan adanya prasasti Allamungan batu di Luyo. Ketika ditinjau dari segi poilitis kata SipaMandar yang menjadi asal muasal kata Mandar memiliki relevansi politik yang cukup kuat. SipaMandar  merupakan ikrar simbolik yang mengakhiri seuluruh konflik persekutuan kerajaan yang ada di tanah Mandar. Allamungan Batu di Luyo yang diprakarsai oleh persekutuan kerajaan pesisir yang terwakilkan kedalam Pitu Babana Binanga (Tujuh Kerajaan di Muara Sungai) dan persekutuan kerajaan yang ada di pegunungaan yang terwakilkan dalam Pitu Ulunna Salu (Tujuh Kerajaan di Hulu Sungai) terlaksana antara abad XVII-IX M. Memiliki rentang waktu yang cukup jauh dengan penulisan Lontara I La Galigo yang ditulis kisarn abad ke VI M. Dimana dalam lontara I La Galigo, kata Manre' (penyebutan orang Bugis untuk Mandar) sudah tertulis. Sehigga relevansi kata Sipamandar menjadi Mandar dianggap tidak mungkin bagi beberapa kalangan budayawan dan sejarawan Mandar, antara lain Abdul Muis Mandra dan H. Mohtar Husain (Idham, 2010)


Situs Allamungan Batu di Luyo

2. Maqdara
"Maqdara" dalam bahasa Indonesia adalah berdarah. Asumsi ini kemungkinan merujuk pada sifat sebagian orang Mandar yang keras dan suka berkelahi, hingga saling menumpahkan darah. Kalangan budayawan Mandar menganggap pandanga ini lemah, karena secara rasional sangat tidak mungkin ketika orang Mandar memberikan stigma negatif kepada dirinya sendiri. Versi ini kemungkinan besar lahir dari orang luar Mandar.

3. Mandarraq
Dahulu kala, di sebuah gunung Pabulahan senantiasa memancarkan cahaya kemilau seperti emas. Gunung ini terdapat di Ulumandaq daerah kerajaan Sendana. Pancaran dari gunung inilah yang disebut "mandarraq".  

Pada pertemuan di Tammajarra kerajaan Balanipa. Kerajaan Sendana sebagai salah satu peserta konferensi yang diwakilkan oleh Puatta I Kuqbur membawa batuan sebanyak enam karung yang diambil dari gunung Pabulahan. Ia ingin memperlihatkan kepada kerajaan lain bahwa inilah kekayaan kerajaan Sendana. Dalam pertemuan ini terjadi perdebatan dalam hal menentukan nama yang hendak digunakan sebagai simbol pemersatu dalam konfederasi. Lalu, perwakilan kerajaan Sendana mengusulkan untuk memakai istilah "Mandarraq" (yang kemudian berubah menjadi Mandar). Hal ini juga yang mendasari kerajaan Sendana menjadi Indo (ibu) dalam persekutuan Pitu Babana Binanga. Cerita rakyat Sendana inilah yang diyakini kebenarannya oleh A. Syaiful Sinrang sebagai dasar penamaan Mandar.
    
Namun, Asumsi ini diragukan oleh Abd. Muis Mandra. Beliau menggunakan teori perspektif dalam pengguguran huruf dalam kebiasaan bahasa Mandar.Pengguguran huruf sebanyak tiga huruf (r-a-q) tidak pernah terjadi dalam sistem bahasa Mandar. Selain itu kata "Mandarraq" tidak lazim digunakan adalah "Pandarraq" berarti akan lebih banyak lagi huruf  yang digugurkan (Abd. Muis Mandra, 1986)

4. Nadara
Adapula pendapat yang mengatakan bahwa kata Mandar berasal dai kata "Nadara" yang berarti jarang. Mandar merupakan kata tempat (ismu makaan) dari kata Nadara yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Perndapat ini dikemukakan oleh H.S Hasan Alwy dalam ceramah agama di Pare-Pare tahun 1961 (H. Mohtar Husain, t:th 115).

Versi ini oleh Mohtar Husain dianggap sangat lemah dan tidak memiliki dasar histris. Eksistensi kata Mandar telah ada sejak abad VI-IX M (sesuai yang tertulis dengan Lontara I La Galigo). Sementara itu, Islam masuk di tanah Mandar diperkirakan pada  abad XVII M. Dengan rentang waktu yang demikian panjang dapat diduga bahwa pengaruh Islam atau pengaruh Bahasa Arab terhadap kata Mandar tidak mungkin terjadi.

5. Dhara-Man
Menurut H. Sahabuddin Mahmud, Mandar berasal dari bahasa Sansekerta dari kata "Dhara-Man".Terdiri dua akar kata "Dhar" & "Man" yang memiliki arti penduduk. Kata Dhara-Man mengalami proses perubahan bentuk berganti suku kata vokal "a" dan vonem "h" hilang, kemudian berubah menjadi Mandar.
Versi ini sangat sulit dibuktikan validitasnya karena; pertama, sejauh ini tidak ada catatan yang kuat menunjukkan adanya pengaruh Hindu di tanah Mandar. Kedua,, Kalaupun pengaruh Hindu benar-benar pernah ada di tanah Mandar. Jejak bahasa sansekerta pasti mempengaruhi penamaan kerajaan-kerajaan dan mempengaruhi nama para bangsawan Manda, bukan hanya berpengaruh pada lahirnya kata "Mandar".

6. Mandar (sungai)
Di Tinambung dan sekitarnya (wilayah Polewali Mandar) yang dahulunya wilayah kerajaan Balanipa, sampai saat ini menggunakan kata Mandar yang merujuk kepada sungai (Sungai Mandar di Tinambung) laut yang menjorok kemuara sungai Tinambung disebut Teluk Mandar, sedangkan hulunya disebut Ulumandaq. Inilah alasan utama bagi orang-orang yang berpendapat bahwa kata "Mandar" merujuk kepada sungai.

Secara faktual, pendapat tersebut tidak terlalu kuat. Karena banyak kerajaan di masa lalu yang memiliki sungai. Namun dari semua sungai yang ada hanya sungai di kerajaan Balanipa yang disebut "Mandar". Sungai Maloso, Sungai Tubo, Sungai Karamaq dan Sungai Lariang yang sama bahkan jauh lebih besar tidak dikatakan Mandar (Abd. Muis Manra, 1986)

Menurut R.A Palengkehu (1987) asosiasi kata Mandar dengan sungai buakn khas domestik sulawesi. Kata populer untuk sungai adalah salu, salo, jeqne, jenne,binanga, minanga, nimanga, dan rano. Mandar dalam arti sungai justru merujuk kepada rumpun bahasa Melayu-Minangkabau, yaitu "Bandar' yang berarti sungai atau  dekat dengan bahasa Parsi, yaitu "Bandar" yang berarti kota pelabuhan. 

7. Maandar
"Mandar" atau "Meandar"  berarti mengantar atau mengiringi. Dianggap sebagai akar kata Mandar yang paling relevan diantara sekian banyak versi.
   
Kisah ini bermula dari seorang putri bangsawan dari kerajaan Balanipa menderita penyakit lepra, karena penyakitnya ditakutkan menular Sang Putri kemudian diasingkan ke suatu tempat ke sekitar hulu sungai Balanipa. Dalam pengasingannya itu, ia melahirkan seorang bayi yang tidak diketahui asal usul ayahnya (anak jadah). Permasalahan tersebut kemudian dibawa kedalam sidang adat, yang mengeluarkan keputusan bahwa Sang Anak diserahkan kepada Dewata melalui upacara tradisional dihanyutkan di sungai Balanipa. Dalam upacara ini, segenap warga berbaris pada kedua sisi sungai.
    
Dalam proses penghanyutan si Anak Jadah inilah yang menghasilkan beberapa nama kampung di Balanipa. Di Muara sungai disebut kampung Tambung (bertumpuk) dan kampung Paqgiling (menoleh atau berbalik). Sedangkan di sisi sungai yang lain, kampung Paraq berarti bakal mati secara perlahan-lahan seperti pohon (dikeluarkan kulitnya), dan kampung Kekkes yang bisa diartikan maju pelan-pelan, yang berarti para pemgantar pulang secara perlahan.

(Abd Muis Mandra, 1986), transformasi dari kata "Maandar" ke kata "Mandar" paling kuat diantara pendapat lainnya. Data pendukung cerita inisangat kuat, seperti kampung Tambung, Panggiling, Paraq, Kekkes, dan cerita ini juga ditemukan di Sendana, Lembang Mapi dan tempat lainnya. 

Selain itu, cerita ini juga tidak bertentangan dengan catatan dan dalam Lonatara I La Galigo, karena cerita ini konon terjadi pada zaman pra-sejarah.

____________________________________________________________________________________

Jadi, bagaimana menurut kalian para pembaca yang budiman? cukup menarik juga yah asal usul kata Mandar ini. Persoalan perspektif mana yang paling tepat itu berpulang kepada pemikiran anda sendiri yang memiliki pemahaman dan kisah mitologi yang ada pada lingkungan 'keluarga' kalian masing-masing...

Demikian untuk blog ini, semoga bermanfaat bagi para pembaca yang budiman.

Sampai jumpa diblog selanjutnya...
____________________________________________________________________________________
Mamuju, 10 Mei 2020

Pembentukan Persekutuan Kerajaan-Kerajaan di Wilayah Mandar : Pitu Babana Binanga

Dikisahkan... Seseorang yang bernama Pa'doran yang bermukim di Ulu Sa'dan  yang juga disebut Tobabina. Pa'doran merupakan an...